
Diajukan
untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester “Kode Etik Psikologi”

Disusun
Oleh:
Ambarwati (611 5111 028)
UNIVERSITAS
TEKNOLOGI YOGYAKARTA
FAKULTAS
PSIKOLOGI
TAHUN
AKADEMIK 2013-3014
1. Mengapa
kode etik disetiap negara pasti berbeda?
Kode etik disetiap negara
sudah pasti berbeda. Menurut saya hal itu dapat terjadi karena setiap negara
memiliki kultur budaya yang berbeda. Apalagi negara bagian barat dengan negara
kita. Sudah pasti budaya, gaya hidup, cara pergaulan juga berbeda.
Contohnya saja budaya barat
yang cenderung individualis, sedangkan budaya yang ada di negara kita, kita
lebih menyukai hidup saling berdampingan, tolong menolong dan masyarakat kita
sampai saat ini masih menjunjung tinggi gotong royong. Sedangkan dari gaya
hidup, dari segi makanan minuman saja mereka lebih menyukai yang instan,
berbeda dengan kita yang sebagian masih menyukai masakan rumah dibanding
masakan siap saji. Di dunia barat pendidikan juga merupakan program yang
penting, sedangkan di tempat kita untuk bersekolah saja masih sulit. Meskipun
pemerintah sudah memberi anggaran APBN sebanyak 20% namun kenyataannya masih
banyak anak yang terpaksa bekerja untuk membantu orangtua dan putus
sekolah.Belum lagi ditambah polemik bahwa di negara kita masih ada daerah yang
masih terisolir. Meskipun di Afrika jauh lebih tertinggal dari kita. Tapi kita
juga harus menyadari jika dunia barat lebih maju dibanding negara kita yang
masih berkembang. Jam kerja masyarakat barat juga lebih banyak dibanding kita.
Ketika mereka bekerja, hampir separuh waktunya digunakan untuk bekerja. Begitu
juga ada negara yang menganggap kumpul kebo itu haram, namun ada juga yang
melegalkan. Begitu juga dengan perceraian, ada negeri yang menganggap hal itu
merupakan sesuatu yang dianggap tabu dan aib, ada yang mengharamkan, namun ada
juga yang menganggap itu merupakan sesuatu hal yang wajar. Pergaulan juga ada
yang menganggap wajar saja kalau seseorang yang belum menjadi suami istri
melakukan hubungan badan, ada yang mengecamnya, dan ada yang memberikan tindakan
langsung. Norma pun ada yang yang menjunjung tinggi namun ada juga yang
menganggap sebagai sesuatu yang primitif.
Jadi kode etik setiap negara
dibuat berdasarkan budaya, norma dan adat yang berlaku setempat. Sehingga dapat
diterapkan dan dilaksanakan sebaik-baiknya agar tercipta keselarasan sesuai
dengan profesinya dan dapat meningkatkan prefesionalitas.
2.
Analisis kasus pelanggaran Kode Etik
Psikologi
Dari kasus yang saya ambil
ini, terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh psikolog X. Diantaranya
tentang pasal Pasal 19 tentang Hubungan Profesional, Pasal 24 tentang
Mempertahankan Kerahasiaan Data, Pasal 33 tentang Penjelasan Biaya Pelaksanaan,
dan Pasal 4 A ayat 5, dan tentu pasal 1 ayat 3. Berikut akan saya jelaskan
lebih lanjut.
Yang pertama ia telah melanggar pasal 19
tentang hubungan profesional. Dimana ia memberikan prognosis kepada kliennya,
hal itu melanggar kode etik karena tindakan yang ia ambil tidak sesuai dengan
bidangnya dan seharusnya bekerjasama dengan ahli neurologi (neurolog) atau
dokter ahli syaraf, karena yang ia katakan kepada klien mengenai anatomi
susunan syaraf. Psikolog atau ilmuwan psikologi juga wajib untuk menghargai,
menghormati kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain
Kedua, ia melanggar kode
etik pasal 24 tentang mempertahankan kerahasiaan data. Hal ini terjadi karena
ia menceritakan permasalahan yang dialami oleh klien lama kepada klien barunya.
Padahal seorang psikolog wajib untuk merahasiakan data kliennya. Kecuali untuk
kepentingan tertentu. Selain itu nama psikolog tersebut juga bisa jatuh karena
dari pembeberan yang dia lakukan, klien barunya pasti akan berfikir andainya
dia menceritakan permasalahannya pasti akan dibeberkan ke orang lain juga.
Sebenarnya boleh saja menceeritakan contoh permasalahan yang dialami oleh
seseorang, asalkan tidak menyebut inisial ataupun namanya.
Selanjutnya yang ketiga
pelanggaran pasal 33 tentang Penjelasan Biaya Pelaksanaan. Dimana psikolog
ataupun ilmuwan psikologi perlu dihargai dengan imbalan sesuai profesionalitas
dan kompetensinya. Selain itu psikolog dan atau ilmuwan psikologi sebagai
bentuk kepedulianpada masyarakat dapat dapat dan baik untuk menjalankan, atau
terlibat dalam aktivitas-aktivitas penyediaan layanan psikolgi secara suka
rela, dengan tetap menjunjung tinggi profesionalistas (ayat 5). Namun yang
terjadi pada psikolog X ini justru meminta honor yang lebih, padahl honor yang
ia minta itu belum tentu sepadan dengan keahlian dan profesionalitas yang ia
miliki. Kita seharusnya juga melihat-lihat klien kita itu berasal dari segi
ekonomi yang seperti apa. Jika sekiranya klien kita berasal dari orang yang
ekonominya pas-pasan atau rendah tidak dipermasalahkan kita menjalani pekerjaan
kita secara sukarela.
Kemudian pelanggaran pasa 2
A ayat 5. Dimana seharusnya psikolog dan atau ilmuwan psikologi berusaha untuk
menghilangkan pengaruh bias faktor-faktor. Sedangkan yang terjadi, ia justru
menaruh bias tersebut untuk meloloskan saudaranya pada saat tes psikologi.
Harusnya ia bersifat lebih profesional, jangan karena ada unsur persaudaraan
lalu diluluskan begitu saja. Mengingat masalah pekerjaan tersebut terkait
dengan orang lain juga. Kita juga nanti pastinya akan dipertanyakan apabila
karyawan tersebut lulus secara tes psikologi namun hasil kinerjanya amburadul.
Yang terakhir namun utama,
yaitu pelanggaran pasal 1 tentang pengertian lebih tepatnya pada ayat 3. Yang
intinya, seorang psikolog diwajibkan untuk memiliki izin praktik psikologi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dilihat dari pendidikannya ia sudah memenuhi
syarat, karena sudah menempuh S1 dan S2 jurusan Psikologi pula. Namun sungguh
disayangkan ketika ia membuka praktik psikolog namun belum memiliki izin.
Alasannya mengapa, kita tidak tahu. Apa karena faktor kesengajaan ataupun
faktor lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar