Jumat, 13 Desember 2013



KODE ETIK PSIKOLOGI

Diajukan untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester “Kode Etik Psikologi”





Disusun Oleh:
Ambarwati    (611 5111 028)


UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA
FAKULTAS PSIKOLOGI
TAHUN AKADEMIK 2013-3014
1.    Mengapa kode etik disetiap negara pasti berbeda?

Kode etik disetiap negara sudah pasti berbeda. Menurut saya hal itu dapat terjadi karena setiap negara memiliki kultur budaya yang berbeda. Apalagi negara bagian barat dengan negara kita. Sudah pasti budaya, gaya hidup, cara pergaulan juga berbeda.
Contohnya saja budaya barat yang cenderung individualis, sedangkan budaya yang ada di negara kita, kita lebih menyukai hidup saling berdampingan, tolong menolong dan masyarakat kita sampai saat ini masih menjunjung tinggi gotong royong. Sedangkan dari gaya hidup, dari segi makanan minuman saja mereka lebih menyukai yang instan, berbeda dengan kita yang sebagian masih menyukai masakan rumah dibanding masakan siap saji. Di dunia barat pendidikan juga merupakan program yang penting, sedangkan di tempat kita untuk bersekolah saja masih sulit. Meskipun pemerintah sudah memberi anggaran APBN sebanyak 20% namun kenyataannya masih banyak anak yang terpaksa bekerja untuk membantu orangtua dan putus sekolah.Belum lagi ditambah polemik bahwa di negara kita masih ada daerah yang masih terisolir. Meskipun di Afrika jauh lebih tertinggal dari kita. Tapi kita juga harus menyadari jika dunia barat lebih maju dibanding negara kita yang masih berkembang. Jam kerja masyarakat barat juga lebih banyak dibanding kita. Ketika mereka bekerja, hampir separuh waktunya digunakan untuk bekerja. Begitu juga ada negara yang menganggap kumpul kebo itu haram, namun ada juga yang melegalkan. Begitu juga dengan perceraian, ada negeri yang menganggap hal itu merupakan sesuatu yang dianggap tabu dan aib, ada yang mengharamkan, namun ada juga yang menganggap itu merupakan sesuatu hal yang wajar. Pergaulan juga ada yang menganggap wajar saja kalau seseorang yang belum menjadi suami istri melakukan hubungan badan, ada yang mengecamnya, dan ada yang memberikan tindakan langsung. Norma pun ada yang yang menjunjung tinggi namun ada juga yang menganggap sebagai sesuatu yang primitif.
Jadi kode etik setiap negara dibuat berdasarkan budaya, norma dan adat yang berlaku setempat. Sehingga dapat diterapkan dan dilaksanakan sebaik-baiknya agar tercipta keselarasan sesuai dengan profesinya dan dapat meningkatkan prefesionalitas.



2.    Analisis kasus pelanggaran Kode Etik Psikologi

Dari kasus yang saya ambil ini, terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh psikolog X. Diantaranya tentang pasal Pasal 19 tentang Hubungan Profesional, Pasal 24 tentang Mempertahankan Kerahasiaan Data, Pasal 33 tentang Penjelasan Biaya Pelaksanaan, dan Pasal 4 A ayat 5, dan tentu pasal 1 ayat 3. Berikut akan saya jelaskan lebih lanjut.
 Yang pertama ia telah melanggar pasal 19 tentang hubungan profesional. Dimana ia memberikan prognosis kepada kliennya, hal itu melanggar kode etik karena tindakan yang ia ambil tidak sesuai dengan bidangnya dan seharusnya bekerjasama dengan ahli neurologi (neurolog) atau dokter ahli syaraf, karena yang ia katakan kepada klien mengenai anatomi susunan syaraf. Psikolog atau ilmuwan psikologi juga wajib untuk menghargai, menghormati kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain
Kedua, ia melanggar kode etik pasal 24 tentang mempertahankan kerahasiaan data. Hal ini terjadi karena ia menceritakan permasalahan yang dialami oleh klien lama kepada klien barunya. Padahal seorang psikolog wajib untuk merahasiakan data kliennya. Kecuali untuk kepentingan tertentu. Selain itu nama psikolog tersebut juga bisa jatuh karena dari pembeberan yang dia lakukan, klien barunya pasti akan berfikir andainya dia menceritakan permasalahannya pasti akan dibeberkan ke orang lain juga. Sebenarnya boleh saja menceeritakan contoh permasalahan yang dialami oleh seseorang, asalkan tidak menyebut inisial ataupun namanya.
Selanjutnya yang ketiga pelanggaran pasal 33 tentang Penjelasan Biaya Pelaksanaan. Dimana psikolog ataupun ilmuwan psikologi perlu dihargai dengan imbalan sesuai profesionalitas dan kompetensinya. Selain itu psikolog dan atau ilmuwan psikologi sebagai bentuk kepedulianpada masyarakat dapat dapat dan baik untuk menjalankan, atau terlibat dalam aktivitas-aktivitas penyediaan layanan psikolgi secara suka rela, dengan tetap menjunjung tinggi profesionalistas (ayat 5). Namun yang terjadi pada psikolog X ini justru meminta honor yang lebih, padahl honor yang ia minta itu belum tentu sepadan dengan keahlian dan profesionalitas yang ia miliki. Kita seharusnya juga melihat-lihat klien kita itu berasal dari segi ekonomi yang seperti apa. Jika sekiranya klien kita berasal dari orang yang ekonominya pas-pasan atau rendah tidak dipermasalahkan kita menjalani pekerjaan kita secara sukarela.
Kemudian pelanggaran pasa 2 A ayat 5. Dimana seharusnya psikolog dan atau ilmuwan psikologi berusaha untuk menghilangkan pengaruh bias faktor-faktor. Sedangkan yang terjadi, ia justru menaruh bias tersebut untuk meloloskan saudaranya pada saat tes psikologi. Harusnya ia bersifat lebih profesional, jangan karena ada unsur persaudaraan lalu diluluskan begitu saja. Mengingat masalah pekerjaan tersebut terkait dengan orang lain juga. Kita juga nanti pastinya akan dipertanyakan apabila karyawan tersebut lulus secara tes psikologi namun hasil kinerjanya amburadul.
Yang terakhir namun utama, yaitu pelanggaran pasal 1 tentang pengertian lebih tepatnya pada ayat 3. Yang intinya, seorang psikolog diwajibkan untuk memiliki izin praktik psikologi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dilihat dari pendidikannya ia sudah memenuhi syarat, karena sudah menempuh S1 dan S2 jurusan Psikologi pula. Namun sungguh disayangkan ketika ia membuka praktik psikolog namun belum memiliki izin. Alasannya mengapa, kita tidak tahu. Apa karena faktor kesengajaan ataupun faktor lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar