psikologi
Senin, 30 Desember 2013
Pengertian
Psikologi Abnormal (Psikopatologi)
Psikolgi abnormal adalah suatu
cabang dari psikologi yang mempelajari tentang prilaku yang
abnormal (abnormal behavior), khususnya yang berkaitan dengan patologis
yang disebut juga sebagai gangguan prilaku (behavior disorder).
Abnormal itu sendiri berarti prilaku yang menyimpang dari normal. Dimana
standar prilaku normal itu sendiri bervariyasi, misalnya perbedaan kultur atau
budaya, di indonesia meludahi orang lain berarti berprilaku tidak sopan, namun
di belahan dunia lain meludahi orang yang baru datang berarti menyambutnya dan
sebagainya. Namun dari pengertian tersebut, prilaku yang abnormal tidak serta
merta dianggap patologis.
Menurut Szasz, prilaku seseorang dianggap patologis apabila pola prilaku yang
telah dipelajarinya secara minimal sekalipun tidak mampu memenuhi apa yang
diharapkan oleh masyarakatnya (socially maladjusted).
Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi ke
III, yang merujuk pada buku Diagnostic and Statistic Manual (DSM) edisi
IV, dan juga The ICD- 10 Classification of Mental and Behavioral Disorders, yang dimaksud dengan gangguan jiwa
adalah Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioral
or psychological syndrome or pattern that occurs in an individual and that is
associated whit present distress (eg., a painful sympton) or disability (ie.,
impairment in one or more important areas of functioning) or with a significant
increased risk of suffering death, pain, disability, or important loss of
freedom.
Jadi, dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep gangguan jiwa itu
meliputi adanya gejala klinis yang bermakna berupa sindrom perilaku atau
sindrom psikologik, gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress),
dan menimbulkan disabilitas (disability; misalnya tidak bisa
makan sendiri, tidak bisa mandi sendiri).
Abnormal itu sendiri berarti prilaku yang menyimpang dari normal. Dimana standar prilaku normal itu sendiri bervariyasi, misalnya perbedaan kultur atau budaya, di indonesia meludahi orang lain berarti berprilaku tidak sopan, namun di belahan dunia lain meludahi orang yang baru datang berarti menyambutnya dan sebagainya. Namun dari pengertian tersebut, prilaku yang abnormal tidak serta merta dianggap patologis.
Menurut Szasz, prilaku seseorang dianggap patologis apabila pola prilaku yang telah dipelajarinya secara minimal sekalipun tidak mampu memenuhi apa yang diharapkan oleh masyarakatnya (socially maladjusted).
Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi ke III, yang merujuk pada buku Diagnostic and Statistic Manual (DSM) edisi IV, dan juga The ICD- 10 Classification of Mental and Behavioral Disorders, yang dimaksud dengan gangguan jiwa adalah Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioral or psychological syndrome or pattern that occurs in an individual and that is associated whit present distress (eg., a painful sympton) or disability (ie., impairment in one or more important areas of functioning) or with a significant increased risk of suffering death, pain, disability, or important loss of freedom.
Jadi, dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep gangguan jiwa itu meliputi adanya gejala klinis yang bermakna berupa sindrom perilaku atau sindrom psikologik, gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress), dan menimbulkan disabilitas (disability; misalnya tidak bisa makan sendiri, tidak bisa mandi sendiri).
BAB 1. Definisi
Gangguan Tidur.
Tidur merupakan fungsi biologis yang dalam berbagai
hal tetap misterius. Tidur memiliki sifat restorative dan sebagian besar dari
kita membutuhkan 7 jam atau lebih untuk tidur di malam hari agar aktivitas di
siang hari berjalan dengan baik. Akan tetapi, tidak semua orang mempunyai waktu
yang cukup untuk tidur dikarenakan oleh berbagai hal yang antara lain karena
factor psikologis, biologis ataupun karena efek pengobatan. Jika keadaan ini
terjadi secara terus menerus maka akan menimbulkan berbagai macam gangguan
tidur. Gangguan tidur adalah masalah yang berhubungan dengan tidur yang
berulang kali dan terus ada yang menyebabkan distress atau hendaya fungsi
social, pekerjaan dan berperan lain untuk berfungsi dengan baik.BAB 2. Jenis
Gangguan Tidur.
Ada
berbagai macam gangguan tidur yang diakibatkan Karen factor, biologis,
psikologis dan efek dari pengobatan. Macam-macam dari gangguan tidur tersebut
antara lain :
1.
Dissomnia
2.
Parasomnia.
Dissomnia adalah gangguan tidur yang memiliki karakteristik
terganngunya jumlah, kualitas atau waktu dari tidur. Ada lima macam Dissomnia,
yaitu :
a.
Insomnia
Jadi,insomnia
adaklah kesulitan berulang untuk tidur atau untuk tetep tidur. Akan tetapi jika
insomnia terjadi saat stres, itu tidak termasuk dalam kategori abnormal.
Insomnia pun dibagi menjadi dua jenis, antara lain :
1.a Insomnia kronis.
Insomnia kronis yang bertahan selama
satu bulan atau lebih merupakan tanda dari masalah fisik atau gangguan
psikologis seperti depresi. Jika problem yang ada di balik insomnia ditangani
dengan baik, ada kemungkinan untuk memperbaiki pola tidu menjadi normal
kembali.
2.a Insomnia primer.
Insomnia primer yang tidak disebabkan oleh gangguan psikologis atau
fisik lainnya, atau pun oleh efek obat atau pengobatan, dikelompokkan dalam
gangguan tidur yang disebut insomnia primer. Orang-orang dengan insomnia primer
memiliki gangguan
yang terus menerus untuk tidur , tetap
tidur, atau mengelami tidur yang restorative. Remaja yang mengalami gangguan
ini biasanya mengeluh membutuhkan waktu yang lama untuk tertidur sedangkan orang tua yang mengalami hal
ini labih banyak mengeluh sering terbangun pada malam hari dan ada jaga yang
bangun terlalu awal di pagi hari. Factor psikologis memainkan peran penting dalam insomnia primer. Mereka yang mengalami
insomnia primer cenderung memebawa kecemasan dan kekhawatiran ke tempat tidur,
yang akan meningkatkan kesadaran tubuh meraka sampai pada tahap yang mencegah
tidur secara alami.
b.
Hipersomnia.
Hipersomnia
berasal dari kata yunani hyper ‘lebih’. Jadi, hipersomnia adalah rasa kantuk
yang berlebihan pada siang hariyang berlangsung selama satu bulan atau lebih.
Rasa kantuk yang berlebihan sering kali disebut dengan mabuk tidur. Mabuk tidur
ini becirirkan sulit bangun setelah periode tidur yang panjang (8-12 jam). Orag
yang mempunyai hipersomnia primer memiliki rasa kantuk yang lebih parah dan
bertahan lebih lama yang biasanya mengakibatkan kesulitan untuk melekukan
fungsi sehari-hari dengan baik.
c.
Narkolepsi.
Narkolepsi
berasal dari bahasa Yunani narke ‘tidak sadar’, lepsi ‘serangan’. Sehingga
pengertian dari narkolepsi adalah gangguan tidur yang memiliki ciri episode
tidur yang tidak dapat dielekan dan terjadi secara tiba-tiba. Orang dengan
gangguan ini dapat secara tiba-tiba tidur untuk jangka waktu rata-rata 15 manit
tanpa adanya tanda-tanda ingin tidur. Diagnosis diberikan ketika serangan tidur
muncul setiap hari selama periode tiga bulan atau lebih dan dikombinasika
dengan salah satu dari dua dari kondisi berikut :
1.c
Cataplexy.
Cataplexy
(kehilangan control otot secara mendadak). Cataplexy biasanya diakibatkan oleh
reaksi emosional yang kuat, seperti bahagia atau marah. Hal ini dapat berkisar
dari rasa lemah yang tak seberapa dikaki sampai benar-benar kehilangan control
otot yang dapat mengakibatkan orang tersebut jatuh secara tiba-tiba.
2.c Gangguan tidur REM (Rapid Eye Movement)
atau REM sleep.
Gangguan ini terjadi dalam tahap
transisi antara sadar dan tidur. Tidur REM yangberarti gerakan mata yang cepat
adalah tahap tidur yang diasosiasikan dengan bermimpi. Dinamakan bergitu karena
mata orang yang sedang tidur cenderung untuk bergerak secara cepat dibawah
kelopak mata yang tertutup.
Serangan narkoleptik dihubungkan
dengan transisi yang cepat ke idur REM dari kondisi terjaga. Dalam tidur
normal, REM biasanya mengikuto beberapa tahap dari tidur nonREM. Orang dengan
serangan narkoleepsi juga dapat mengalami sleep paralysis(kelumpuhan tidur),
tahap sesaat yang mengikuti kondisi terjaga dimana seseorang merasa tidak mampu
untuk bergerak atau berbicara. Penderita juga melaporkan halusinasi yang
menekutkan sesaat sebelum tidur dan cenderung melibatkan sensasi visual,
auditori, taktil dan kinestetik (gerakan tubuh) yang disebut dengan ‘hypnagogic
hallucinations’. Penyebab dari gangguan ini belum diketahui secara pasti,
tetapi diduga dikarenakan hilangnya sel otak dalam hipotalamus yang
menghasilkan suatu zat kimia pengatur tidur.
d.
Gangguan
Tidur yang Terkait Dengan Pernafasan (breathing-related sleep disorder).
Orang yang mengalami
gangguan tidur yang terkait dengan pernafasan
mengalami
gangguan untuk tidur secara berulang yang disebabkan oleh masalah pernafasan.
Gangguan tidur yang berkala ini mengakibatkan insomnia atau rasa kantuk yang
berlebihan diwaktu siang. Tipe yang paling umum terkait gangguan ini adalah
obstructive sleep apnea (berasal dari bahasa Yunani ‘a’ tidak dan ‘pneuma’
nafas) yang melibatkan episode berulang dari gangguan nafas menyeluruh atau
sebagian selama tidur. Gangguan ini dialami oleh sekitar 18 juta orang amerika.
Kesulitan bernafas dikarenakan oleh kerusakan struktur, seperti langit-langit
mulut yang terlalu tebal atau pembesaran tonsil atau adenoids. Dalam gangguan
menyeluruh seseorang dapat secara tidak sadar berhenti bernafas selama 15
sampai 90 detik sebanyak 500 kali sepanjang malam. Ketika berhenti bernafas
terjadi, seseorang dapat mendadak duduk, tersedak, mengambil nafas dalam
beberapa kali dan tertidur kembali tanpa terbangun atau menyadari bahwa
pernafasannya telah terganggu.
Meskipun ada refleks biologis yang
memaksa pengambilan nafas setelah interupsi bernafas yang singkat ini, gangguan
akibat apnea yang sering muncul saat tidur normal dapat membuat orang merasa
mengantuk pada keesokan harinya. Gangguan ini lebih sering terjadi pada pria
paruh baya. Hal ini juga banyak terjadi pada orang yang mengalami obesitas,
disebabkan karena menyempitkan jalam udara dibagian atas akibat pembesaran pada
jaringan halus. Tidur apnea juga merupakan masalah kesehatan karena hubungannya
dengan peningkatanrisiko hipertensi, factor resiko utama untuk serangan jantung
dan stroke.
e.
Gangguan
Irama Tidur Sirkadia.
Sebagian fungsi tubuh mengikuti sebuah siklus atas
irama internal (irama sirkadia) yang berlangsung selama 24 jam. Pada gangguan
irama tidur sirkadia, irama tidur menjadi sangat terganggu karena
ketidakcocokan antara tuntutan jadwal tidur yang ditetapkan oleh seseorang
dengan siklus internaltidur-bangun orang tersebut. Gangguan pada pola tidur
normal yag disebabkan oleh ketidakcocokan ini dapat menyebabkan insomnia atau
hipersomnia. Seperti gangguan tidur lainnya, gangguan ini juga terjadi terus
menerus dan cukup parah sehingga menimbulkan tingkat distress yang signifikan
atau hendaya terhadap kemampuan seseorang untuk berfungsi dalam peran social,
pekerjaan dan peran lainnya. Penanganannya dapat melibatkan program penyesuaian
secara bertahap pada jadwal tidur untuk menjadikan system sirkasia seseorang
sesuai denga peerubahan jadwal tidur bangun.
Parasomnia adalah perilaku abnormal atau peristiwa
fisiologis yang muncul pada saat tidur atau pada ambang batas antar tidur dan
terjaga. Terdapat tiga jenis parasomnia, antara lain :
1.
Gangguan
mimpi buruk.
Gangguan
mimpi buruk (nightmare disorder) merupakan proses terjaga dari tidur secara
berilang karena mimpi buruk. Mimpi buruk sering dikaitkan dengan pengalaman
traumatis dan umumnya lebih sering terjadi ketika indivisu berad dalam kondisi
stress. Mimpi buruk biasanya muncul saat tidur REM. Periode REM cenderung lebih
panjang dan mimpi yang muncul selama REM lebih intensif pada periode setengah
terakhir dari tidur, yang muncul biasanya pada larut malam atau menjelang
subuh. Meskipun mimpi buruk dapat berisi aktivitas motorik yang hebat, sepeti
melarikan diri dari serangan tapi para pemimpi hanya menunjukkan aktivitas otot
yang sedikit.
2.
Gangguan
Teror dalam Tidur.
Gangguan
ini biasanya dimulai dengan tangisan yang keras dan menyayat hati di malam
hari. Hal biasanya trjadi pada anak-anak dengan kemungkinan terduduk, terlihat
ketekutan dan menunjukan tanda-tanda dari proses terjaga yang ekstrem, keringat
berlebihan dengan detak jantungdan pernafasan yang cepat. Anak dapat mulai
berbicara secara tidak koheren atau bercerita dengan liar, tetapi tetap
tertidur atau terbangun dan tidak mengenali orang tua yang ada di depannya
kemudian tertidur kembali dan di pagi harinya ia tidak menyadari kejadian yang
telah ia alami waktu malam. Terror dalam tidur cenderung muncul saat sepertiga
awal dari tidur malam serta saat tidur lelap dan tidak REM.
Gangguan
terror dalam tidur mellibatkan episode terror dalam tidur yyang berulang yang
menghasilkan proses terjaga secara tiba-tiba dan di mulai dengan teriakanpanik.
Jika proses terjaga muncul saat episode terror dalam tidur, orang biasanya akan
terlaihat bingung dan mengalami disorientasi waktu untuk beberapa menit. Orang
tersebut akan merasakan terror yang samar dan dapat menceritakan beberapa
gambaran dari mimpinya, tetapi tidak mendetail seperti oang yang mengalami
mimpi buruk. Penyebab terror dalam tidur ini tetap menjadi misteri sampai saat
ini.
3.
Gangguan
Berjalan Sambil Tidur (sleep walking disorder).
Gangguan
baejalan sambil tidur melibatkan episode berulang di mana orang yang sedang
tidur bangkit dari tempat tidur dan berjalan disekitar rumah dengan mata
terpejam. Gangguan ini cenderung terjadi saat tahap tidur yang lebih dalam di
mana mimpi tidak hadir, episode berjalan sambil idur tidak terlihat melibatkan
kehadiran mimpi. Kemunculan yang berulang dari episode berjalan sambil tidur
cukuplah parah sehingga menyebabkan stress pribadi yang signifikan atau
ketidakmampua untuk berfungsi dengan baik. Gangguan in banyak terjadi pad anak-anak. Orang dewasa pun juga bias mangalami gangguan
ini dengan tingkatan kronis di mana selama itu frekuensi dan intensitas episode
tersebut meningkat dan menghilang dari waktu ke waktu. Penyebab terror dalam
tidur tetap menjadi misteri hingga kini.
BAB 3. Penanganan Gangguan tidur.
Gangguan
tidur ini dapat diatasi dengan dua macam pendekatan yang walaupun hanya
mengurangi sedikit dai gangguan tersebut, antara lain :
1.
Pendekatan
Biologis.
Penanganan ini menggunkan hal yang berkaitan dengan
biologis atau organ-organ yang terdapat dalam tubuh. Gangguan dapat dikurangi
dengan memberikan obat antikecemasan yang sering digunakan untuk mengatasi
insomnia yaitu benzodiazepine yang termasuk obat penenang minor. Selain
benzodiazepine ada juga zolpidem yang sama efektifnya dengan benzodiazepine
namun efek sampingnya lebih kecil dan kemungkinan memiliki efek putus zat yang
lebih penting. Namun, semua obat-obatan ini dapat menghasilkan ketergantungan
kimiawi jika digunakan secara teratur dan sepanjang waktu.
Saat digunakan untuk mengatasi
insomnia dalam jangka pendek, obat tersebut akan efektif dalam mengurangi waktu
yang dibutuhkan untuk tertidur meningkatkan wakut tidur total dan mmengurangi
terjaga pada malam hari. Akan tetapi obat antikecemasan ini juga punnay efek
samping yaitu dapat menyebabkan hilangnya tidur REM dan menganggu tidur
restorative. Selain itu jika pengguanaan obat dihentikan bias membuat insomnia
semakin parah.
Dari segi psikologis juga akan
membuat penderita insomnia menjadi bergantung dengan obat kareana mereka
mengasumsikan bahwa tanpa tidur mereka tidak mempu tidur serta menyebabkan
itingkat kecemesan yang semakin tinggi. Obat tersebuta hanya boleh digunakan
pada kasus-kasus parah karena dapat menyebabkan resiko ketergantungan fisik dan
psikologis. Tujuannya pun hanya untuk memutuskan siklus.
2.
Pendekatan
Psikologis.
Pendekatan ini menggunakan
teknik kognitif-behavioral yang telah menghasilkan
manfaat
yang penting dalam penanganan insomnia kronis. Manfaatnya dari teknik ini untuk
insomnia kronis antara lain, mengurangi waktu untuk dapat tertidur dan jumlah
terjaga pada malam hari serta meningkatkan kualitas tidur. Teknik
kognitif-behavioral menekankan pada jangka waktu pendek dan berfokus pada
penurunan langsung kondisi fisiologis yang timbul, memodifikasi kebiasaan tidur
yang maladaptive dan mengubah pemikiran yang disfungsional. Teknik ini
menggunakan kombinasi dari beberapa teknik, yaitu,
a.
control
stimulus dengan menghubungkan stimulus ketika tidur, seperti orang berbaring
ditempat tidur dihubungkan dengan keinginan untuk tidur, sehingga hal ini dapat meningkatkan
raskantuk. Akan tetapi jika tempat tidur digunakan untuk makan, mambaca,
menonton televisi, tempat tidur akan kehilangan asosiasi dengan ras mengantuk.
Teknik ini bertujuan untuk memperkuat hubungan antara tempat tidur dan tidur
sebisa mungkin membatasi aktivitas atas tempat tidur agar dapat tertidur.
b.
Pemantapan
siklus tidur bangun yang teratur ini dapat dilakukan dengan mengadaptasikan
waktu tidur dan bangun yang lebih konsisten.
c.
Relaksasi.
Tekik ini dapat dilakukan dengan melakukan relaksasi progresifdari Jacobson,
juga dapat dilatih sebelum waktu tidur untuk membantu menurunkan tingkat
kesadaran.
d.
Rekonstrusi
rasional. Teknik ini melibatkan rasional untukmengganti kekalahan dari
pemikiran atau kepercayaan maladaptive yang bersifat self-defeating. Keyakinan
bahwa kwgagalan untuk dapat tertidur nyenyak akan berkurangnya kemungkinan
untuk dapat tertidur karena adanya peningkatan kecemasan dan dapat membuat
orang gagal mencoba untuk tertidur.
GANGGUAN SOMATOFORM (SOMATOFORM DISORDERS)
Kata somatoform ini di ambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan penyebabnya. Gangguan somatoform berbeda dengan malingering, atau kepura-puraan simtom yang bertujuan untuk mendapatkan hasil yang jelas. Gangguan ini juga berbeda dengan gangguan factitious yaitu suatu gangguan yang ditandai oleh pemalsuan simtom psikologis atau fisik yang disengaja tanpa keuntungan yang jelas. Selain itu gangguan ini juga berbeda pula dengan sindrom Muchausen yaitu suatu tipe gangguan factitious yang ditandai oleh kepura-puraan mengenai simtom medis.
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
GEJALA GANGGUAN SOMATOFORM
1. Pain Disorder
Pada pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan;faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat.
2. Body Dysmorphic Disorder
Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini & Philips daam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya.
3. Hypochondriasis
Hypochondriasis adalah gangguan somatoform dimana individu diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang serius dimana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.
4. Conversion Disorder (Gangguan Konfersi)
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik. Gejala konversi biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup.
5. Somatization Disorder (Gangguan Somatisasi)
Menurut DSM-IV-TR kriteria dari somatization disorder adalah memiliki sejarah dari banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala sexual, dan 1 gejala pseudoneurological; gejala-gejala yang timbul tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan dalam memberikan kondisi medis yang dialami. Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispanic (Escobar et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa.
Kriterianya Gangguan Somatoform
Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan gastrointestinal atau saluran kemih)
a) Salah satu (1)atau (2)
· Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum yang diketahui atau oleh efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
· Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratonium.
b) Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
c) Durasi gangguan sekurangnya enam bulan.
d) Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau gangguan psikotik).
e) Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura)
Sindrom Koro dan Sindrom Dhat
Sindrom koro itu adalah gangguan somatoform yang terkait budaya, ditemukan terutama di Cina, dimana orang takut bahwa alat genital mereka akan mengerut. Sindrom koro cenderung hanya muncul sebentar dan melibatkan episode kecemasan takur bahwa alat genitalnya akan mengerut. Tanda-tanda fisiologis kecemasan yang medekati proposi panic umu terjadi, mencakup keringat yang berlebihan , tidak dapat bernafas, dan jantung berdebar-debar.
Sindrom dhat adalah gangguan somatoform yang terkait budaya, ditemukan terutama di antara pria Asia India, yang ditandai oleh ketakutan yang berlebih akan kehilangan air mani. Pria dengan sindrom ini juga percaya bahwa air mani bercampur dengan urine dan dikeluarkan saat buang air kecil. Ada keyakinan yang tertersebar luas dalam budaya India yaitu bahwwa hilangnya air mani merupakan sesuatu yang berbahaya karena mengurangi energi mental dan fisik tubuh.
PENANGANAN (TREATMENT) UNTUK GANGGUAN SOMATOFORM
a. Teori Psikodinamika
Freud mengembangkan teori pikiran yang mengancam atau yang tidak disadari. Freud meyakini bahwa ego berfungsi untuk mengontrol impuls seksual dan agresif yang mengancam atau tidak dapat diterima yang timbul dari id melalui mekanisme pertahanan diri seperti represi. Control seperti ini menghambat timbulnya kecemasan yang akan terjadi bila orang tersebut menjadi sadar akan adanya impuls-impuls itu. Menurut teori Psikodinamika , simtom histerikal memiliki fungsi yaitu memberikan orang tersebut keuntunga primer dan sekundar, yaitu Primer yaitu hilangnya kecemasan yang mendasar yang diperoleh dari berkembangnya simtom-simtom neurotik. Sedangkan sekunder yaitu keuntungan sampingan yang dihubungkan dengan gangguan neurotis atau lainnya, seperti ekspresi simpati, perhatian yang meningkat, dan terbebas dari tanggung jawab.
b. Teori Belajar
Teori psikodinamika dan teori belajar bahwa simtom-simtom dalam gangguan konversi dapat mengatasi kecemasan. Teoritikus psikodinamika mencari penyebab kecemasan dalam konflik-konflik yang tidak disadari. Belajar berfokus pada hal-hal yang secara langsung menguatkan simtom dan peran sekundernya dalam membantu individu menghindari atau melarikan diri dari situasi yang tidak nyaman atau membangkitkan kecemasan. Perbedaan dalam pengalaman belajar dapat menjelaskan bahwa “mengapa secara histories gangguan konversi lebih seringdilaporkan oleh wanita daripada pria.
c.Teori Behavioral dari Conversion Disorder
Pandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul ?
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion. Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut harus diberikan reward. Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain. Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti literatur.
Penyebab Gangguan Somatoform
Faktor Sosial dan Budaya pada Conversion Disorder
Salah satu bukti bahwa faktor sosial dan budaya berperan dalam conversion disorder ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad terakhir. Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini.
Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan hal fisiologis daripada sebelumnya. Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang rendah (Binzer et al.,1996;Folks, Ford&Regan, 1984 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum berkembang, seperti Libya (Pu et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004 ).
Faktor Biologis pada Conversion Disorder
Meskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala conversion lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan (Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan penemuan menarik karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
TERAPI
Para terapis behavioris lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.
Terapi untuk Somatization Disorder
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Terapi untuk Hypochondriasis
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick, 1986;Visser&Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Terapi untuk Pain Disorder
Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut:
· Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita.
· Relaxation training
· Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri
Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.
Penanganan Gangguan Somatoform secara umum
Pendekatan behavioral untuk menangani gangguan konversi dan somtoform lainnya menekankan pada menghilangkan sumber dari reinforcement sekunder (keuntungan sekunder) yang dapat dihubungkan dalam keluhan-keluhan fisik. Terapis behavioral dapat bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif.
Teknik kognitif-behavioral paling sering pemaparan terhadap pencegahan respond an restrukturisasi kognitif. Secara sengaja memunculkankerusakan yang dipersepsikan di depan umum, dan bukan menutupinya melalui penggunaan rias wajah dan pakaian. Dalam restrukturisasi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dan cara meyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas. Penggunaan antidepresan, terutama fluoxetine(Prozac) dalam menangani beberapa tipe gangguan somatoform.
GANGGUAN DISOSIATIF (DISSOCIATIVE DISORDERS)
Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru. Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan sebagai adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (di bawah kendali sadar) yang meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaanan segera (awareness of identity and immediate sensations), serta control terhadap gerak tubuh.
Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain:
· ingatan masa lalu
· kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of identity and immediate sensations)
· kontrol terhadap gerakan tubuh
MACAM-MACAM GANGGUAN DISSOSIATIF
1. Amnesia Disosiatif
Amnesia disosiatif adalah hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres. Seseorang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stres.Pada amnesia total, penderita tidak mengenali keluarga dan teman-temannya, tetapi tetap memiliki kemampuan bicara, membaca dan penalaran, juga tetap memiliki bakat dan pengetahuan tentang dunia yang telah diperoleh sebelumnya.
Perkembangan Klinis amnesia disosiatif:
· Hilangnya daya ingat (sebagian / seluruh), biasanya mengenai kejadian-kejadian penting (stressful, traumatik) yang baru terjadi, tidak disebabkan gangguan mental organic, kelupaan, kelelahan, intoksikasi.
· Individu tiba-tiba menjadi tidak dapat mengingat kembali informasi personal yang penting (biasanya setelah mengalami beberapa peristiwa stressful).
· Selama periode amnesia, perilaku atau kemampuan individu mungkin tidak berubah, kecuali bahwa hilangnya memori menyebabkan beberapa disorientasi, tidak mengenali identitas (asal, teman, keluarga, dll)
· Hilangnya memori
· Bisa hanya untuk peristiwa tertentu atau seluruh peristiwa kehidupan
· Biasanya berlangsung dalam periode waktu tertentu, bisa beberapa jam sampai dengan beberapa tahun
· Memori biasanya kembali muncul secara tiba-tiba juga, lengkap seperti sebelumnya (hanya sedikit kemungkinan untuk kambuh)
· Hilangnya memori tidak sama dengan yang disebabkan oleh kerusakan otak atau karena ketergantungan obat.
2. Fugue Disosiatif
Fugue disosiatif adalah hilangnya memori yang disertai dengan meninggalkan rumah dan menciptakan identitas baru. Dalam fugue disosiatif, hilangnya memori lebih besar dibanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang mengalami fugue disosiatif tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan beraktivitas dengan menggunakan identitas baru.
Perkembangan klinis Fugue Disosiatif:
· Gangguan di mana individu melupakan informasi personal yang penting dan membentuk identitas baru, juga pindah ke tempat baru.
· Individu tidak hanya mengalami amnesia secara total, namun juga tiba-tiba pindah (melarikan diri) dari rumah dan pekerjaan, serta membentuk identitas baru.
· Biasanya terjadi setelah seseorang mengalami beberapa stress yang berat (konflik dengan pasangan, kehilangan pekerjaan, penderitaan karena bencana alam).
· Identitas baru sering berkaitan dengan nama, rumah, pekerjaan bahkan karakteristik personality yang baru. Di kehidupan yang baru, individu bisa sukses walaupun tidak mampu untuk mengingat masa lalu.
· Recovery biasanya lengkap dan individu biasanya tidak ingat apa yang terjadi selama fugue.
3. Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah. Dalam episode depersonalisasi, yang umumnya dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Para penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.
Perkembangan klinis gangguan Dipersonalisasi:
v Gangguan di mana adanya perubahan dalam persepsi atau pengalaman individu mengenai dirinya.
v Individu merasa “tidak riil” dan merasa asing terhadap diri dan sekelilingnya, cukup mengganggu fungsi dirinya.
v Memori tidak berubah, tapi individu kehilangan sense of self.
v Gangguan ini menyebabkan stress dan menimbulkan hambatan dalam berbagai fungsi kehidupan.
v Biasanya terjadi setelah mengalami stress berat, seperti kecelakaan atau situasi yang berbahaya.
v Biasanya berawal pada masa remaja dan perjalanannya bersifat kronis (dalam waktu yang lama).
4. Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan identitas disosiatif suatu kondisi dimana seseorang memiliki minimal dua atau lebih kondisi ego yang berganti-ganti, yang satu sama lain bertindak bebas. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau berubah-ubah, kondisi yang berbeda dalam keberadaan, perasaan dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda.
Perkembangan Gangguan Indentitas Disosiatif:
· Individu memiliki setidaknya dua kepribadian yang berbeda (adanya perbedaan dalam keberadaan, feeling, perilaku), bahkan ada yang bertolak belakang.
· Adanya dua atau lebih kepribadian yang terpisah dan berbeda pada seseorang. Setiap kepribadian memiliki pola perilaku, hubungan dan memori masing-masing.
· Kepribadian yang asli dan pecahannya kadang dapat menyadari adanya periode waktu yang hilang, adanya kepribadian yang lain. Suara dari kepribadian yang lain sering bergema, masuk ke kesadaran mereka tapi tidak diketahui milik siapa.
· Gap dalam memori mungkin terjadi jika suatu kepribadian tidak berkaitan dengan kepribadian yang lain.
· Keberadaan pribadi-pribadiyang berbeda menyebabkan gangguan dalam kehidupan seseorang dan tidak dapat disembuhkan seketika oleh obat-obatan.
· Biasanya muncul di awal masa kanak-kanak (adanya trauma berat di masa kanak-kanak), namun jarang didiagnosis sampai masa remaja. Lebih berat dari bentuk gangguan disosiatif lainnya
· Wanita > pria
Secara singkat kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas disosiatif ialah:
a. Keberadaan dua atau lebih kepribadian atau identitas
b. Sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku secara berulang
c. Ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting.
ETIOLOGI (PENYEBAB)
Istilah gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme, dissosiasi, yang diduga menjadi penyebabnya. Pemikiran dasarnya adalah kesadaran biasanya merupakan kesatuan pengalaman, termasuk kognisi, emosi dan motivasi. Namun dalam kondisi stres, memori trauma dapat disimpan dengan suatu cara sehingga di kemudian hari tidak dapat diakses oleh kesadaran seiring dengan kembali normalnya kondisi orang yang bersangkutan, sehingga kemungkinan akibatnya adalah amnesia atau fugue.
Pandangan behavioral mengenai gangguan disosiatif agak mirip dengan berbagai spekulasi awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral menganggap dissosiasi sebagai respon penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut.
Etiologi GID. Terdapat dua teori besar mengenai GID. Salah satu teori berasumsi bahwa GID berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan oleh penyiksaan secara fisik atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma (Gleaves, 1996). Teori lain beranggapan bahwa GID merupakan pelaksanaan peran sosial yang dipelajari. Berbagai kepribadian yang muncul pada masa dewasa umumnya karena berbagai sugesti yang diberikan terapis (Lilienfel dkk, 1999; Spanos, 1994). Dalam teori ini GID tidak dianggap sebagai penyimpangan kesadaran; masalahnya tidak terletak pada apakah GID benar-benar dialami atau tidak, namun bagaimana GID terjadi dan menetap.
Sindrom dissosiatif yang terkait dengan budaya
Ada kesamaan antara konsep barat akan gangguan disosiatif dengn sindrom – sindrom tertentu yang terkait dengan budaya yang di temukan di lain dunia. Contohnya, zar-Istilah yang di gunakan negara – Negara Afrika Utara dan Timur Tengah menggambarkan penguasaan roh – roh dalam diri orang yang mengalami tahap disosiatif. Saat tahap ini terjadi individu terlibat dalam perilaku yang tidak biasa, mulai dari berteriak – teriak hingga membenturkan kepalanya ke dinding. Perilaku ini di sebut abnormal. Karena di percaya bahwa hal tersebut di control oleh roh – roh.
Pandangan-pandangan Teoritis
Gangguan disosiatif merupakan fenomena yang sangat mengagumkan dan menarik. Bagaimana perasaan seseorang akan identitas dirinya bias menjadi sangat terdistorsi hingga orang tersebut membangun kepribadian ganda, kehilangan banyak potongan dari ingatan pribadi, atau membentuk sebuah identitas baru.
Pandangan Psikodinamika
Amnesia disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif dengan cara memutus atau mendisosiasi alam sadar seseorang dari kesadAran akan pengalaman yang traumatis. Gangguan disosiatif melibatkan pengguna represi srcara besar – besaran yang menghasilkan terpisahnya impuls yang tidak dapat diterima dan ingatan yang menyakitkan dari ingatan seseorang. Dalam amnesia dan fugue disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri dari kebanjiran kecemasan dengan mengeluarkan ingatan yang menggangu atau dengan mendisosiasi impuls menakutkan yang bersifat bIseksual atau agresif. Pada kepribadian ganda, orang mungkin mengekspresikan impuls – impuls yang tidak dapt di terima ini melalui pengembangan kepribadian pengganti. Pada depersonalisasi orang berada di luar dirinya sendiri aman dengan cara menjauhi dari pertarungan emosional di dalam dirinya.
Pandangan Kognitif & Budaya
Teoritikus belajar dan kognitif memandang disosiasi sebagai suatu respons yang dipelajari, meliputi proses tidak berpikir tentang tindakan atau pikiran yang menggangu dalam rangka menghindari rasa bersalah dan malu yang di timbulkan pleh pengalaman. Kebiasaan tidak berpikir tentang masalah– masalah tersebut secara negative dikuatkan dengan adanya perasaan terbebas dari kecemasan atau dengan memindahkan perasaan bersalah atau malu.
Disfungsi Otak
Perbedaan dari aktivitas metabolisme otak antara orang dengan gangguan depersonalisasi dan subjek yang sehat. Penemuan ini yang menekankan pada kemungkinan adanya disfungsi di bagian otak yang terlibat dalam persepsi tubuh, dapat membantu menjelaskan perasaan terpisah dari tubuh yang di asosiasikan dengan depersonalisasi.
Ciri-ciri Dissociative Fugue antara lain:
Pergi jauh dari rumah atau tempat kerja secara tiba-tiba dan tidak mampu mengingat masa lalunya.
Bingung terhadap identitas pribadi atau mendapatkan identitas baru secara persial atau total.
Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama berlangsungnya gangguan identitas dissosiative, dan bukan disebabkan oleh substansi tertentu atau kondisi medis secara umum
Gangguan menyebabkan distress atau daya ingat significant untuk berfungsi secara normal.
Penanganan gangguan disosiatif yang lain meliputi :
Terapi kesenian kreatif. Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa tipe terapi ini menggunakan proses kreatif untuk membantu pasien yang sulit mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. Seni kreatif dapat membantu meningkatkan kesadaran diri. Terapi seni kreatif meliputi kesenian, tari, drama dan puisi.
Terapi kognitif. Terapi kognitif ini bisa membantu untuk mengidentifikasikan kelakuan yang negative dan tidak sehat dan menggantikannya dengan yang positif dan sehat, dan semua tergantung dari ide dalam pikiran untuk mendeterminasikan apa yang menjadi perilaku pemeriksa.
Terapi obat. Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun tidak ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan disosiatif ini. Biasanya pasien diberikan resep berupa anti-depresan dan obat anti-cemas untuk membantu mengontrol gejala mental pada gangguan disosiatif ini
Langganan:
Postingan (Atom)